Medan Berguru Menghargai Rupiah Dari Penjual Es Tong-Tong

No Comments

Penjual ES Tong-Tong (Dok. Pribadi)
Tong… tong… tong….

Suara khas itu, makin usang makin terang terdengar. Beberapa menit kemudian ia nampak lewat di depan kos. Aku yang dari tadi menunggu segera bergegas keluar dari kamar, di tangan kiri gelas kosong sudah siap sedangkan ditangan kanan beberapa cuilan uang receh Rp 100, Rp 200, Rp 500 dan Rp 1000, juga sudah saya siapkan.

Sesampainya di depan pagar kos, saya pun eksklusif berteriak. Mas, es tong-tongnya ke sini. Si masnya yang udah kenal juga sama saya eksklusif muter balik, tapi gerobak esnya tidak di kayuh menyerupai biasa, malah di dorong dengan semangat. Sesampainya di depan kos, ia sempat bertanya : “Tumben gres keliatan lagi, tidak kerja hari ini”.

Aku pun menjawab : “Nggak mas, pengen libur dulu. Mau istirahat, banyak cucian juga dan besok awal Desember lagi ada rencana mau keluar kota. Kaprikornus hari ini semuanya harus saya siapin”.

Oh… begitu. Esnya mau berapa mas, menyerupai biasa (maksudnya Rp 2000)?

Aku pun menjawab : “Lebih mas, nih saya bawa gelas gede. Kalau Rp 5000, nampung nggak di gelas ini”.

Si masnya pun menjawab : “Nampung kok, sanggup lebih malah”.

Tapi maaf yah mas, hari ini uangnya kebanyakan recehan. Biasalah mas, setiap kembalian di warung biasa maupun warung modern tetap saya kumpul biarpun cuma RP 100 atau Rp 200.

Oh… nggak apa-apa mas. Yang penting masih uang rupiah dan masih laku. Lagian bagi saya tidak masalah, itu sudah rejeki dan yang penting lagi tetap di syukuri.

Obrolan pun berakhir. Segelas es tong-tong sudah ditangan dan siap mendinginkan tenggorokan yang siang itu lagi kehausan alasannya yakni panas yang menyengat melanda kota Makassar. Dan si mas penjualnya pun meminta ijin untuk lanjut keliling kompleks dengan gerobak esnya.

Setelah si masnya berlalu, saya berpikir jauh beberapa tahun ke belakang. Kurang lebih ke tahun 2011 silam. Kala itu, kalau saya tidak salah ingat, dikala pulang kampung, beberapa ponakan pernah meminta uang kepadaku. Dompet pun saya keluarkan dan keluarlah beberapa lembar uang kertas (Rp 1000). Satu persatu saya bagikan rata ke mereka. Namun dari wajah mereka terlihat kurang bersemangat.

Dengan muka kecut, mereka tetap mendapatkan uang itu, tapi salah satunya sempat protes.

“Kok cuma seribu sih. Emang nggak ada yang lebih gede nilainya dari ini? Ini mah nggak cukup buat jajan. Ah… abang pelit nih” katanya sambil berlalu meninggalkanku.

Di daerah saya kuliah, uang segitu masih berharga bangad. Dan hari itu, saya cuma sanggup geleng-geleng kepala sambil melihat isi dompet yang sudah kosong. Tapi sebelum mereka jauh berlalu, saya sempat berpesan : "Udah, uangnya ditabung saja di celengan biar banyak. Atau kasih saja ke mamamu biar disimpan di celengan”.

Tapi apa mau dikata, namanya juga anak-anak. Bukannya nurut malah melaksanakan hal sebaliknya, berlari jauh entah kemana. Dan ibunya, yang tak lain yakni kakakku hanya sanggup geleng-geleng kepala. Aku pun semakin heran lagi, gres umur segitu (SD kelas 1-2) sudah tak mau dikasih uang kertas 1000-an. Bagaimana dengan cuilan dibawahnya, Rp 500 hingga Rp 100? Bukan protes lagi yang akan mereka lakukan, tapi demo kali ya.

Karena masih penasaran, saya pun bertanya ke kakakku mengenai hal itu. Ia pun menjawab bahwa sudah setahun belakangan uang receh seakan tidak laris lagi. Jangankan recehan, uang Rp 1000 rupiah saja menyerupai dianggap bukan uang. Dan hal itu terjadi bukan saja ditempat kakakku, tapi merata di seluruh Pulau Tomia (Wakatobi), daerah dimana saya dilahirkan.

Terpaksa uang recehan hanya disimpan saja dicelengan dan dikala terkumpul banyak, disusun rapi menurut nominalnya kemudian dibungkus plastik dan jikalau ada yang berlayar ke Kota Bau-Bau, uang tersebut dititip dengan impian ditukar di bank dengan uang kertas yang nominalnya di atas uang Rp 1000 an.

Tapi kasus itu tidak hanya melanda bawah umur saja, ternyata orang cukup umur pun banyak yang enggan mendapatkan uang logam cuilan kecil. Kalau pun di terima, niscaya uang logam tersebut tak usang akan berakhir di jalan, di got, atau dimana saja. Atau halusnya dibuang oleh si empunya.

Sungguh miris sekali, jikalau di ingat-ingat kembali pengalaman kala itu. Dan berbanding terbalik dengan apa yang dilakukan oleh penjual es tong-tong simpulan November lalu.

Bagaimana mau mengasihi Indonesia kalau rupiah saja tidak di hargai? Tapi saya tidak akan menyalahkan mereka warga kampung, alasannya yakni itu sebetulnya berawal dari kurangnya pemahaman saja dan juga edukasi.

Cintai Rupiah Meski Itu Hanya Recehan (Dok. Pribadi)
Lalu bagaimana dengan di kota?

Dulu, di tahun 2011, uang receh masih laris di kota. Tapi sekarang, lebih-lebih dikala berbelanja di swalayan, gerai-gerai minimarket atau semacamnya, uang receh kembalian belanja otomatis akan berakhir menjadi permen oleh pegawai minimarket tersebut. Bahkan kadang berakhir dengan seruan disumbangkan.

Namun jikalau hal itu terjadi padaku, jangan harap saya menerimanya. Karena bukan saya tidak mau menyumbangkan atau mendapatkan permen tersebut, tetapi saya sudah menyiapkan langkah jitu dengan menyiapkan recehan lengkap di saku celana, atau dompet untuk mengantisipasi kembalian permen dan juga penodongan pemberian itu. Malah kadang pakai gesek (pakai ATM), juga e-Money saja. Sehingga tak perlu repot-repot bawa pulang permen, apalagi nyumbang dengan terpaksa.

Nah, akhir kebiasaan kasir yang suka ngasih kembalian permen, saya pernah mendengar dongeng ada seorang laki-laki yang sengaja mau kasih pelajaran ke kasir daerah biasa ia berbelanja. Katanya, setiap kembalian permen yang ia terima, ia kumpulkan. Ketika sudah dianggap tidak mengecewakan banyak, suatu pagi dikala belanja dan pas mau bayar, bukan lembar rupiah yang ia keluarkan, tapi dibayar dengan permen. Kasirnya kaget, menolak dan marah.

Pria itu dengan santai menjawab, permen itu hasil uang kembalian yang saya kumpulkan setiap belanja di sini. Untuk itu, hari ini saya tiba kembali dan membayar semuanya dengan uang kembalian berupa permen juga. Adil bukan!
Dan apa yang terjadi, semenjak dikala itu tidak ada lagi kasir yang berani ngasih permen sebagai pengganti recehan kembalian. Nggak perlu debat kusir, dengan sekali action saja sudah cukup membuka mata hati.

Intinya, jangan melihatnya sebagai hal sepele, padahal usang kelamaan akan menjadi problem besar. Sedangkan hal itu juga yakni bentuk menghargai mata uang kita. Kalau kita sendiri saja tidak peduli dan menghargai, bagaimana dengan orang lain (baca : asing)?

Sudah sanggup dibayangkan bukan!

Kesimpulan

Dari sedikit kisah di atas, sanggup diambil kesimpulan bahwa keengganan untuk mendapatkan uang receh atau bahkan menggantinya dengan permen, sama saja dengan mengatakan uang receh rupiah sama sekali tidak bernilai. Pertanyaannya, benarkah uang receh rupiah tidak ada gunanya?

Biarkan hati nuranimu menjawabnya dan pikiranmu menjabarkannya dengan bijaksana dan lebih jauh lagi. Nggak perlu menunggu melaksanakan hal besar untuk mengatakan rasa cintamu kepada Negara. Mulailah dari hal-hal kecil, contohnya dengan mengasihi setiap rupiah yang ada meskipun nominalnya lebih kecil.

Penjual ES Tong-Tong telah mengatakan caranya.

BTN Antara Makassar, 31 Desember 2017

0 komentar

Posting Komentar